Yang dilupakan
Kalau saat ini diberi pertanyaan ‘apa kabar?’, rasanya saya bingung jawaban apa yang harus diberikan.
Sebab memang skala hidup belakangan adalah antara baik, dan tidak.
Sebulan terakhir ini, saya bak orang kehilangan arah. Kuliah seminggu sekali, disambut libur semester sebulan, berlanjut ke jadwal kuliah yang sama, seminggu sekali. Memang saya sudah berada di penghujung perkuliahan. Tapi tetap saja, rentetan kegitan yang perlu dikerjakan berada pada titik minim.
Menghadapi ini, otak dan jiwa saya pusing tujuh keliling bak rollercoaster ancol. Saya ingin mengerjakan ‘sesuatu’ yang bahkan tidak saya ketahui ‘wujudnya’. Mimpi2 masa lalu yang dibangun dari khayalan pun lenyap seketika. Terlebih ketika muncul luapan ketidaksabaran atas usaha mewujudkan mimpi yang (lagi-lagu) belum kunjung datang.
Saya kehilangan arah. Dan tujuan.
Sampai suatu hari di tengah ‘kesibukan’ saya mengisi waktu luang, rasa takut dan cemas menjalar perlahan ke tubuh. Apa yang akan terjadi kalau saya gagal? Bagaimana jadinya kalau saya tidak bisa merealisasikan khayalan saya? Apa yang harus saya lakukan? Mungkinkah semua mimpi besar itu akan terwujud?
Saya takut.
Di penghujung kebingungan dan kegelisahan, hati saya pun tak sabar mencurahkan perasaannya kepada seseorang. Tibalah saya di dua hari pengakuan. Pengakuan atas ketakutan, kegelisahan, kebingungan, apalagi kalau bukan menyangkut masa depan.
Keluh kesah mengalir deras dari mulut saya lewat rangkaian cerita. Sobat yang dengan sabar mendengar pun mulai memberikan tanggapan. Tanggapan sekaligus peringatan atas penyimpangan yang telah saya lakukan.
Berbagai kegiatan baik yang saya lakukan bertahun-tahun tidak lagi menjadi memori indah. Tidak lagi menjadi penyemangat. Tidak lagi menjadi penumbuh kepercayaan diri. Sementara orang lain merasa itu adalah ‘sesuatu’, saya malah merasa itu’bukan apa-apa’. Semua tertutup dengan bayangan kesombongan yang semakin parah karena bercampur dengan ketidaksabaran. Sungguh kombinasi yang tidak seimbang.
Dua hari bersama teman memberikan saya banyak pelajaran. Pelajaran yang dulu sangat saya ingat namun telah saya lupakan.
Saya lupa bahwa saya telah berbuat.
Saya lupa bahwa saya telah berusaha.
Saya lupa bahwa saya pernah gagal.
Saya lupa bahwa saya pernah bangkit.
Saya lupa bahwa saya senang bermimpi.
Saya lupa bahwa menjadikan mimpi butuh kesabaran.
Saya lupa bahwa saya harus bersabar.
Panen dari buah kesabaran pasti akan berbeda.
Mungkin tanah dan pupuk teman saya lebih subur, makanya dia panen lebih cepat.
Mungkin produk penyubur saya kurang ampuh, maka saya perlu lebih berusaha.
Berusaha untuk terus berusaha.
Berusaha untuk terus bersabar.
Hingga suatu hari mimpi bisa berbuah.
Iya, suatu hari.
farica purnamasari
senyum kawan!
tak apa, memang pasti ada masa-masa seperti itu.
tapi yang jelas kamu telah menemukan jalanmu kembali kan?
Davy
ini kalo kata orang masa krisis melepas status abege, pencarian jati diri, memasuki masa matang, detik menuju evolusi baru. apa coba. hahahaha..
semangat ya encik, pantas belakangan kamu tidak se’jreng-jreng’ biasanya.
daimoku cik, jangan takut.. pasti abis ini kamu nemu sstu lagi. 😀
vinnydubidu
Terima kasih dapyy!
Iya ni. Roda sedang ada di bawah. Hahahaha.
Cassandra Niki
hi, sedih sekali baca post seperti ini. tapi namanya manusia, namanya kehidupan, terkadang di atas terkadang di bawah. kehilangan arah? itu biasa, tapi jangan pasrah kepada keadaan. cari hal baru! itu yang paling terbaik. cari sesuatu yang baru yang refreshing. supaya tidak muter-muter di rutinitas yang sama. semoga bisa segera ‘menemukan’ diri sendiri lagi 🙂
vinnydubidu
Thanks, Cassey.
Iya harus mencari rutinitas baru.
Anw, Senang sekali terima commentmu. Huge thanks.
Salam kenal yaa. 🙂