All Vinny  

Apel tergigit

Belakangan, gue agak kesal dengan salah seorang teman. Alasannya keanak-anakan sih. Yang bersangkutan tidak menghubungi gue sama sekali, di masa sakit gue ini. Berawal dari sana, muncul praduga ‘air susu dibalas air tuba’, atas tindakannya.

Ya, seperti yang sudah disebut di atas. Masalah di atas bukan problem besar. Untuk apa menuntut balasan orang, jika dulu kamu membantunya tanpa mengharap balasan? Tapi, itulah manusia, atau mungkin cuma gue? Gue menuntut agar teman dekat gue itu memberikan 60% perhatian seperti yang dulu gue berikan padanya. Angka sempurna. Ya, gue menuntut kesempurnaan.

Setelah dipikir-pikir, tuntutan untuk sempurna yang terjadi selama ini tak hanya berlaku untuk manusia. Terhadap lingkungan dan keadaan pun, kita cenderung menuntut kesempurnaan. Kehidupan keluarga yang berkecukupan, tetangga yang selalu ramah, keinginan yang selalu terpenuhi, masa depan cerah, lahiriah sampai batiniah.

Gue jadi ingat dengan tabiat ayah. Beliau termasuk orang yang sangat menuntut kesempurnaan. Masih teringat jelas bagaimana komentar yang diberikan pada gue saat dengan bangganya gue membawa rapor SD gue pada beliau, untuk pamer karena mendapat rangking 5 besar.

“Yah, kok cuma segitu? Juara 1 dong baru hebat,” jawab beliau, yang sungguh menurunkan bentuk bibir.

Nggak hanya di gue, kakak pun mendapat perlakuan serupa. Setiap pacar yang dikenalkan padanya selalu menuai keluhan.

“Kurang tinggi. Hidungnya lebar. Jidatnya besar. Giginya kok bergingsul?”.

Karena kita berbicara tentang kesempurnaan, jadi perilaku ayah tidak akan mendapat predikat salah atau benar. Konteksnya, mereka yang sudah merasakan susahnya hidup pun, apalagi hidup sempurna, tetap menuntut apa yang dinamakan sempurna.

Mungkin tanpa sadar pola pikir gue saat ini sedikit dipengaruhi oleh ayah. Dalam berbagai hal, gue kerap mencari yang terbaik. Kerja misalnya. Lulus kuliah lalu, gue berikrar untuk mengirim lamaran hanya ke perusahaan yang oke (menurut gue). Urusan laki-laki pun begitu. Gue ingin pacaran dengan yang oke banget. Ganteng, pintar, mapan, lucu, asyik, diterima temen-temen gue, dan semua syarat sempurna (yang sekarang gue sadari hanya ada di tokoh protagonis sinetron 50 episode).

Pertanyaannya sekarang, sesempurna apakah gue untuk bisa mendapatkan hal sempurna yang gue gariskan?

Dengan yakin gue posisikan diri masih jauh dari sempurna. Sehebat apa gue untuk bisa bersaing dengan ratusan atau ribuan remaja hebat yang mungkin lebih muda dari gue, yang juga mengejar perusahaan incaran gue? Seberapa sempurna fisik dan kehidupan gue untuk bisa mendapatkan laki-laki idaman yang figurnya hanya gue temukan di film romantis Hollywood?

Sesempurna apakah kita?

Berangkat dari kesadaran yang sedang gue galakkan ini, gue pun mulai menerima ketidaksempurnaan yang gue miliki.

Bahwa gue mendapat kesempatan bekerja di bukan-perusahaan-incaran yang sangat supportive untuk berbagi ilmu dan mendukung semua kegiatan gue, itu lebih dari kesempatan sempurna. Bahwa gue punya ‘teman dekat’ (meminjam istilah bokap) di dunia nyata, yang memenuhi beberapa dari semua kriteria laki-laki pemain sinetron itu, juga sebuah hal yang perlu disyukuri. Bahwa teman gue yang tidak tahu terima kasih itu mungkin masih mencatat gue di hatinya sebagai salah satu teman dekatnya dalam sekian tahun perkenalan, itulah pertemanan.

Ini bukan sebuah pegalihan isu untuk melihat yang tidak sempurna sebagai sebuah kesempurnaan. Bukan juga aksi pura-pura untuk memberi kesenangan sesaat bahwa ‘ah hidup gue sempurna kok, meskipun bla bla….”. Bukan.

Tulisan ini hanya sekelibat perasaan yang mungkin bisa kita rasakan untuk memandang hidup kita dengan kacamata yang sedikit lebih berbeda. Ketika segalanya terlihat tidak sempurna, tidak berarti kita tidak bisa menjumpai kebahagiaan di dalamnya. Steve Jobs saja berhasil membawa logo apple yang tidak utuh itu menjadi sebuah kebahagiaan bagi jutaan orang di dunia. Ya kan?

Terima kasih juga untuk keluhan ayah. Mungkin gue belum bisa dapet juara 1, tapi suatu hari gue pasti bisa.

Leave A Comment