Pesan tersembunyi
Hai, kamu yang bercucu-12.
Tepat hari ini, hampir dua bulan kalian di sini.
Jujur, kadang aku capek hati melihat berantakannya dapur, kotornya lantai, atau kerasnya suaramu yang menyambutku memulai pagi.
Tapi, tak mengapa juga sih.
Soalnya, begitu tiba di bawah, aku selalu menemukan makanan lezat, susu coklat, atau secangkir teh panas di meja makan.
Alhasil, aku jarang menyantap makanan di kantin menpora lagi.
Perutku sudah kenyang dengan printilan makanan yang kamu siapkan dari pukul 3 pagi.
Hehe.
Beberapa minggu lalu, kita bertengkar kecil.
Kamu marah aku selalu pulang larut malam.
Kamu minta aku berganti pekerjaan.
Aku membela diri.
Ku bilang ‘aku yang mau pulang malam.
Bukan salah pekerjaanku’.
Sesudah itu, aku membenamkan diri di kamar.
Menangis sesegukan.
Meninggalkan kalian berdua tidur di kamar sebelah.
Esok hari setelah kejadian itu, kamu datang menghampiri.
Kita berbincang.
Panjang.
Aku buka cerita yang tak pernah berani ‘ku ungkap.
Aku takut kamu marah.
Kenyataannya, kamu tak semarah yang ‘ku sangka.
Mungkin kita tak satu pikiran, tapi kamu juga tidak melarangku mengambil pilihan.
Setelah hari itu, semua berjalan indah.
Aku tetap menikmati teh hangat di pagi hari,
Kadang ayam goreng, bubur putih, atau semangkuk mie rebus, yang kamu siapkan.
Selalu begitu.
Tak pernah absen satu hari pun.
Sehari sebelum ini,
Kamu cerita.
Kamu menangis karena akan berpisah denganku.
Mendengar itu, aku sedikit geli.
Aku tertawa.
“Kenapa menangis?” Tanyaku.
Pertanyaan yang jawabnya sudah ‘ku tahu.
Malam ini, ternyata posisi kita berganti.
Kamu bilang tak lagi menangis.
Sementara di sini, aku mengiris sedih.
Besok pagi,
terakhir kalinya aku mencicipi teh hangat dan susu coklat.
Mulai besok juga, lantai dapur tak lagi kotor, piring tak lagi berserakan.
Aku tak juga disambut suara kerasmu setiap pagi.
Semua berganti sunyi.
Dapur bersih.
Sekarang, aku sedih.
Tentu, tak kubiarkan kamu melihatku begini.
Kamu bisa nangis 3 kali lipat kalau tahu aku sedih. Hehe.
Sesaat lagi, aku akan segera tidur.
Besok pagi, kamu hanya akan melihatku tersenyum.
Atau mungkin, sedikit wajah jutek yang sering tak sengaja kutunjukkan setiap pagi.
Paling tidak, kamu tahu aku akan baik-baik saja.
Mulai besok, aku akan sembahyang lagi.
Maaf absen sekian hari.
Selain tidak ingin mengganggu keasyikanmu menonton tv (dan karena telat bangun pagi),
Ku pikir dengan aku ijin berdoa,
aku punya 15 menit untuk berbincang denganmu.
Agaknya Tuhan pasti mengerti.
Sekarang, aku tak mau lagi sedih.
Kita pasti akan bertemu lagi.
Harapku, kalian akur-akur saja.
Jangan berantem karena mencari obat, penjepit kumis, atau hal kecil itu lagi.
Akan ‘ku siapkan waktu untuk mengunjungi kalian berdua lagi.
Segera.
Sun sayang untuk 12 keponakanku yang ada di sana.