Tentang Doa
Saya bukan pendoa yang rajin. Bukan juga pendoa yang mencari Tuhan-nya tiap kali mendapatkan susah.
Tapi belakangan, keadaan sedikit memaksa saya menjadi pendoa. Tetap bukan pendoa yang rajin. Bukan. Hanya pendoa yang bekerja karena sadar dirinya mulai buta arah.
Sedikit misterius memang. Namun, pilihan jadi pendoa ‘dadakan’ itu memang tidak salah. Selalu ada sedikit titik cerah tiap saya selesai berdoa. Paling tidak, untuk menit itu, jam itu, malam itu.
Saat saya sedang gundah menanti jawaban sebuah harapan, saya dicerahkan dengan
“Sudah. Jangan terlalu diharapkan. Yang penting, kerjakan dengan baik apa yang ada dihadapmu sekarang.”
Berikutnya, waktu penantian itu berbuah kegagalan, saya kembali diingatkan.
“Jangan sedih. Pencapaianmu hari ini sudah lebih dari luar biasa. Paling tidak kamu berkembang banyak dari kegagalan terakhir di titik yang sama. Kamu bisa”.
Belakangan, malam lalu tepatnya, saya kembali suram. Lagi-lagi dengan masalah yang tak jauh berbeda. Dengan sedikit perjuangan melawan tayangan Sex and the City untuk menghabiskan Sabtu malam, saya kembali menyeret diri. Untuk berdoa.
Hasilnya…
“Mungkin ini saatnya berhenti sejenak merencanakan masa depan. Jalankan saya hari esok dengan baik. Kesempatan bisa saja datang waktu kamu tidak sedikit melonggarkan harapan”.
Ketenangan itu tak bertahan lama. Bahkan mungkin tak lebih dari 24 jam. Tapi sama seperti rasa haus, tiap kali kita merasa dahaga saat berada di kamar, tidak ada salahnya kan mengambil air putih lagi di lantai bawah?
cheerfulgelda
kadang-kadang apa yang kita sangat inginkan itu datang ketika tidak sedang memikirkannya..
Just don’t let your brain focus on your self..
thinks a lot of others then all your wishes will come in an unexpected way..
cheers up dear 🙂
vinnydubidu
terima kasih sudah mengingatkan, gelda. 🙂