Nge-Hype di Kamboja
Pertama-tama, gue ucapkan terima kasih dulu kepada panitia HYPE (Hip and Young Professional Event), yang telah mengadakan kegiatan Hype tahun ini di Kamboja. Negara yang gue yakin bagi sebagian besar orang akan menjadi bucketlist ke-sekian puluh untuk dikunjungi. Dengan kata lain, kalau nggak ada acara ini ya nggak bakalan deh kita mendarat di Kamboja. So, thank you, Hype! 🙂
Jadi, tanggal 23 sampai 26 Mei lalu, gue dan ratusan teman dari berbagai daerah Indonesia berkumpul (baca : berlibur) di Kamboja. Selama di sana, kami mengikuti berbagai acara, mulai dari lomba antar kelompok, kunjungan ke tempat wisata, diskusi, nonton sirkus, dan pastinya jalan-jalan. Gimana rasanya jalan-jalan di Kamboja?
SERU!
Untuk gue, sebenarnya perjalanan pertama ke tempat baru, ke manapun itu, pasti akan selalu meninggalkan banyak cerita seru. Dan, dari semua cerita yang mengasyikkan selama jalan-jalan kemarin, ini adalah beberapa hal yang menurut gue paling berkesan selama berada di Kamboja…
Bener nih kita di luar negeri?
Bandara Kamboja, hmm, seperti Pontianak. Kecil, ramai, dan padat. Cukup jomplang dibandingkan dengan bandara Kuala Lumpur tempat kami mendarat sebelumnya yang besar, megah, dan modern.
Setibanya di Kamboja, kami dijemput oleh panitia dengan menggunakan mini bus. Kebetulan, sore itu sedang turun hujan. Nah, begitu keluar dan menyusuri jalanan Kamboja, satu per satu reaksi mulai muncul…
Ini macetnya mah sama aja kayak Jakarta.
Eh eh tu motor jadul bener dah.
Duilah kenapa jadi kayak di Mangga Dua gini?
Kok kita nggak kayak di luar negeri yak?
Ya. Kalau tidak ada huruf-huruf Sansekerta yang berseliweran di sepanjang jalan, dan pengemudi mobil dengan setir di sebelah kiri, gue pun tidak mendapatkan nuansa sedang berada di ‘luar negeri’. Jalanan di Kamboja sungguh luar biasa. Tidak ada marka jalan, lebar jalan pas-pasan, pembatas yang membelah dua rute jalan berbeda arah pun tidak ada, motor melaju seenaknya, mobil saling menyerobot, lampu lalu lintas diabaikan, polisi pun tak terlihat fungsinya. Kebetulan kami menyusuri jalanan sekitar pukul 5 sore. Jadi, bayangkanlah betapa hebatnya kemacetan yang terjadi.
“Harusnya sih cuma setengah jam. Tapi kemarin gue juga balik dari bandara pas hujan. Jadinya, 2 jam lah baru nyampe hotel”, ujar teman gue yang juga panitia.
Oke. Benar saja. Satu setengah jam kemudian, kami baru tiba di hotel.
Debu rasa ‘Dubai’
Gue dan hampir 200 rombongan peserta Hype sempat menginap 2 malam di Phnom Penh. Namun, kegiatan Hype sendiri lebih banyak dipusatkan di Siam Reap, kota yang harus ditempuh lewat 6 jam perjalanan darat dari Phnom Penh. Bagaimana perjalanannya?
AMPUN.
Jadi, jalanan di Kamboja ini rupanya banyak juga yang belum terurus. Salah satunya ya sepanjang jalan yang kami tempuh untuk menuju ke Siem Reap. Di dalam mini bus berkapasitas 25 orang, semua penumpang terpaksa tidur sambil duduk naik turun mengikuti kemulusan jalan. Banyak titik jalan yang tidak rata dan belum diaspal. Beberapa kali gue melek di tengah perjalanan dan tidak bisa melihat pemandangan di luar mobil dengan jelas. Bukan karena kabut, tapi debu pasir karena jalan yang belum diaspal tadi. Salah satu teman dengan santainya menyelutuk kalau debu di Siam Reap ini membuat kami seolah berada di Dubai.
Dan, panasnya Kamboja ini luar biasa.
Ada yang bilang Pontianak panas karena dilalui garis khatulistiwa. Tapi, percayalah, panasnya Kamboja, mungkin 4 hingga 6 derajat celcius lebih panas dari Pontianak (biasanya sekitar 33-35 derajat celcius). Berkat debu, panas, jalan naik turun, perjalanan menuju Siam Reap pun sungguhlah sangat berkesan.
Kota candi
Apa yang dilihat di Siem Reap? Yup, apa lagi kalau bukan Angkor Wat!
Angkor Wat ini adalah kawasan candi Hindu yang didirikan oleh Raja Suryawarman II, pada awal abad ke-12. Karena luasnya yang luar biasa (katanya beberapa kali lipat dari Candi Borobudur), ada paket tur Angkor Wat untuk perjalanan 3 hari. Bisa jadi memang kawasan ini baru bisa habis dinikmati dalam 3 hari, karena memang sangattt luas! Angkor Wat juga menjadi kebanggaan warga Kamboja. Karena itu, logo berbentuk candi sangat mudah ditemui di Kamboja, mulai dari di bendera, rumah makan, hingga bir bernama “Angkor”.
Nah, Angkor Wat juga menjadi lokasi kegiatan Hype. Para peserta yang dibagi dalam puluhan kelompok mendapatkan tantangan untuk berfoto di Angkor Wat dan meng-upload-nya di Instagram. Foto yang ditugaskan bermacam-macam, mulai dari foto sunset, sunrise, selfie, pose yoga di depan candi, foto rumah pohon yang tingginya puluhan meter, hingga mencari lokasi candi yang menjadi tempat syuting Angelina Jolie sebagai jagoan dalam salah satu adegan di film Tomb Raider.
Kelas budaya
Selain jalan-jalan, salah satu acara yang meninggalkan kesan adalah kelas budaya yang diberikan oleh Benny Widyono. Om Benny adalah warga Indonesia, mantan anggota Dewan Keamanan PBB, penulis, yang juga pernah menjadi Gubernur Siem Reap atas amanah yang diberikan oleh Sekjen PBB kala itu.
Karena pengalaman itulah, Om Benny sangat menguasai seluk beluk tentang Kamboja. Salah satunya tentang perebutan kekuasaan antar pimpinan negara tersebut. Selain sejarah Kamboja, Om Benny juga banyak menceritakan hal yang membuka mata sekaligus menambah wawasan. Misalnya, monopoli perekonomian yang masih terjadi Kamboja.
Di Phnom Penh, nggak usah takut kesulitan mencari pom bensin. Pom bensin ukuran kecil, sedang, besar, bisa ditemukan dengan mudah dalam jarak kurang dari 50 meter, di hampir seluruh penjuru kota. Kalau di Indonesia, mungkin pom bensin ini seperti warung rokok pinggir jalan yang mudah ditemukan di mana-mana. Ternyata, jelas Om Benny, pom bensin yang banyak itu dikuasai oleh SATU orang yang sama, yaitu salah satu pemimpin negeri tersebut.
Nah, keadaan Kamboja inilah, berdasarkan cerita Om Benny, yang membuat Kamboja saat ini tidak berbeda jauh dengan kondisi Indonesia pada jaman Orde Baru. Yang kaya makin kaya, yang susah makin susah. Jadi, meskipun sudah merdeka di atas kertas, rakyat Kamboja sebenarnya masih belum betul-betul merdeka. Masih banyak mimpi dan harapan yang masih, sedang, dan ingin diperjuangkan rakyat.
Namun dari semua itu, yang paling gue inget dari kelas budaya itu adalah, gue yang susah mencerna pelajaran sejarah tiba-tiba dibuat ‘naksir’ dengan cerita negara Kamboja. Pemamparan Om Benny seru deh, bener. Dengan slide yang hanya memuat poin-poin penting, penjelasan yang singkat, jelas, dan padat, ditambah lagi cerita yang disampaikan betul-betul berdasarkan pengalaman pribadi, gue yang mendengar langsung bisa menggambarkan apa yang dijelaskan Om Benny di kepala, dengan jelas. Seru! Nggak heran kalau Om Benny masih aktif menjadi dosen di University of Connecticut Stamford, Amerika. 🙂
How sweet is Indonesia?
Jalan-jalan ke Kamboja kali ini sangat membuka mata. Apalagi untuk kita yang selalu bangga dengan setiap titel “luar negeri”.
Berkat perjalanan ini, gue (dan beberapa teman) sepakat bahwa yang namanya “luar negeri” itu ternyata tidak selalu bagus. Bayangan tentang semua negara lain pasti lebih bagus dari Indonesia, sirna, setelah melihat Kamboja. Jujur saja, dengan kondisi negara seperti Kamboja, tentu gue akan mikir dua kali kalau harus tinggal di ‘luar negeri’. Indonesia dengan segala carut marutnya masih berkali kali lipat lebih baik dari Kamboja.
Selain kondisi negara, kehidupan di Kamboja juga terbilang masih susah. Di beberapa tempat pemberhentian, kami menemukan banyak anak kecil yang berjualan. Kalau di Indonesia, anak kecil yang berjualan akan menampilkan mimik wajah yang optimis. Hmm. Gimana ya ngejelasinnya? Maksudnya, kalau mereka menawarkan makanan, dan kita tidak beli, anak itu akan pergi dengan segera. Ya mungkin sedikit bersungut-sungut dan wajah yang ditekuk karena kesal. Tapi, intinya mereka akan segera pergi untuk menawarkan jualannya kepada orang lain. Ya kan?
Beda halnya dengan anak-anak Kamboja. Sekali kita menolak, mereka akan tetap berdiri di sana. Kalau kita masih menolak, tetap aja mereka berdiri di samping kita sambil berjualan. Nah kalau kita bergeser, tak kurang dari 1 menit kemudian, mereka akan menyusul. Kalau masih menolak, siap-siap saja diomeli. Seketika gue merasa seperti orang paling jahat di muka bumi karena tidak membeli pisang madu yang ditawarkan hampir 5 kali oleh salah seorang anak.
Pesimisme sepertinya juga dialami juga oleh generasi muda. Bisa jadi hal ini terjadi karena penduduk setempat masih harus berkutat dengan kondisi negara yang memang belum 100 persen kondusif. Salah satu video tentang warga Kamboja yang diputar di Hype, menunjukkan bagaimana anak muda di Kamboja, begitu mengagumi Singapura karena kemajuannya, dan berharap bisa tinggal di sana. Gue agak ‘nyes’ melihat fakta itu. Antara sedih dan bangga.
Melihat hal tersebut, persepsi gue tentang Indonesia sedikit berubah. Gue merasa anak-anak Indonesia masih punya harapan yang lebih baik lah. Paling tidak, kita sudah berada di posisi yang lebih optimis meskipun dikelilingi dengan segala kegalauan dan kebimbangan yang terus dihadapi setiap hari. Paling tidak, sekali kita ditolak, kita akan segera mencari mangsa baru (baik urusan bisnis, maupun … cinta?), bukannya merengek-rengek hingga menangis supaya diterima. Paling tidak, jika harus memilih antara Indonesia dan Singapura, kita (mudah-mudahan) akan lebih sepakat bahwa Indonesia sudah cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat hidup.
Yah, dengan berbagai cerita yang didapat selama di Kamboja, gue pulang dengan satu kebanggaan tersendiri akan Indonesia. Dibandingkan Kamboja, negeri kita masih lebih nyaman untuk ditempati. Jadi, bersyukurlah bisa tinggal di sini. Jangan sering-sering mencaci maki apalagi merendahkan negeri sendiri.
Let’s tell the world that we are proud of our sweet country and for being Indonesian! Thanks for the lovely story, Cambodia! =)
* Few pictures above were taken from Hype group 7 (thanks! =p). More pictures from the event :
nyonyasepatu
Keren yaaaaa kambojaaa
vinnydubidu
Iya, Mba! Boleh dimasukkan ke list place-to-visit! =))
Perkara Move On – vinnydubidu's
[…] alias kita-kita yang udah bekerja. Event ini yang bikin saya punya kesempatan nyampe di Kamboja 2 tahun […]
Day 13 : Favorite – vinnydubidu's
[…] Nge-Hype di Kamboja […]