Gula dan Semut di Hari Nyepi
Semut di kepalanya tidak berhenti bergerak. Menyelinap ke setiap ruang pembuluh otak yang konon katanya bermeter-meter panjangnya. Sekali menemukan jalan buntu, ia kembali memutar arah. Sekalipun pandangan di depan mata tampak rabun oleh isi otak yang amburadul, semut tak pantang menyerah. Ia tetap berpindah perlahan. Kembali, jalan buntu ditemui. Belok kiri, belok kanan, belok U, ia lakoni. Semua demi bergerak. Ia tak bisa hidup tanpa bergerak.
Semut bukan binatang kesukaan saya. Sebaliknya, ia hewan kecil yang paling saya benci. Bukan takut, lebih kepada risih. Apalagi ketika mereka berkumpul saat menemukan sesuatu yang manis. Ironisnya, toh saya juga yang bikin mereka kumpul. Saya juga yang teledor meninggalkan sebutir kecil gula pasir dari biskuit atau saat menyeduh kopi. Saya benci semut yang muncul atas kelalaian yang saya lakukan. Kekesalan macam apa itu.
Hidup belakangan ini cukup penuh. 80% oleh kerja. Sisanya oleh urusan pribadi yang kerap saya lalui dengan meninggalkan remahan gula tadi. Alhasil, semut pun berkumpul di kepala. Membuat pikiran tak berhenti bekerja. Pagi, siang, malam, bangun tidur, menjelang tidur.
Saya lelah? Iya, sedikit.
Ketika pasukan hitam kecil itu muncul, tanya demi tanya tak berhenti mengalir. Ini benar? Itu benar? Kenapa saya begini? Kenapa saya begitu? Ini salah? Itu salah. Satu demi satu berkumpul menjadi puluhan. Untungnya, belum sampai ratusan, sejauh yang saya sadari.
Pertanyaan tentang apa yang benar agaknya tidak akan pernah terjawab. Harapan menemukan sesuatu yang benar di tempat yang benar pada saat yang benar, pun, saya ragukan akan pernah terwujud. Ketiga variabel itu tak pernah datang bersamaan. Selalu ada yang salah. Entah itu kepada si benda, si waktu, atau si tempat. Ketiganya (mungkin) tak pernah datang di saat bersamaan.
Mungkin, begitulah hidup.
Orang cantik tidak lagi bersinar ketika berada di antara kerumunan orang cantik. Harus ada beberapa si kurang cantik untuk menegaskan keberadaannya yang memukau. Begitu pula sebaliknya.
Hal yang sama, bisa jadi berlaku untuk ketepatan antara ketiganya. Orang yang benar tidak datang di tempat yang benar. Waktu yang tepat belum tentu mempertemukan kita dengan orang yang tepat. Tempat yang tepat berhasil kita kunjungi, tidak di waktu yang tepat.
Semut terus melancarkan serangan di setiap jengkal milimeter di kepalanya. Kali ini, serangan semakin deras. Ia tak menghiraukan peristiwa 9 Maret yang dirayakan saudara di Bali dengan perayaan menyepi. Sepi dari godaan duniawi, sepi dari hura-hura ragawi. Semut tetap beraksi. Ia tak kenal malam, Sabtu, atau Minggu, yang harusnya dimaknai dengan rasa tenang. Baginya, setiap hari ia harus hidup. Berlari membuat dia bertahan. Membuat ia bugar.
Berlari membuatnya hidup.
Walau, apa yang membuatnya hidup, membuat Tuannya lelah.