
Perkara Move On
4 hari 4 malam liburan di Belitung pas weekend 2 minggu lalu, emang sempat bikin saya sedikit kepikiran. Pantai, awan, ikan, angin, langit, ah indah bener deh itu Belitung.
Jadi, liburan kemarin, saya habiskan dengan mengikuti kegiatan HYPE (Hip and Young Professional Event). Ini adalah event tahunan yang diadakan oleh Buddha Dharma Indonesia untuk para ‘profesional muda’ alias kita-kita yang udah bekerja. Event ini yang bikin saya punya kesempatan nyampe di Kamboja 2 tahun lalu.
Selama 3 hari 3 malam di Belitung (1 harinya extend sendiri), 200an peserta dibagi menjadi 20 kelompok untuk tinggal di rumah penduduk / homestay. Selain ngumpul bareng pagi ketemu malem, kami juga kudu ngerjain tantangan kelompok baik di darat maupun laut (baca : pantai) yang jenisnya macem-macem.
Tantangan di darat dimulai dari : wawancara nelayan, ngeliatin batu meteor (Batu Satam, kata warga Belitung), wawancara Bapak homestay. Tantangan di pantai meliputi foto di mercusuar, bikin kreasi dari pasir, bikin foto prewed, sampai bikin video opening Baywatch dengan adegan dimana beberapa laki-laki bercelana merah berlari dalam gerakan slo-mo untuk nolongin perempuan di tengah pantai yang hampir kelelep.
Sesi island hopping ini yang jadi favorit saya. Berkat keliling pulau, saya banyak punya foto pantai, awan, dan laut (yang bisa disimpen buat stock Instagram 1 bulan). Meskipun hasil tangkapan kamera saya nggak secakep aslinya, tetap aja deh lumayan buat nginget-nginget langitnya Belitung (yang kalau siang awannya biru banget, dan kalau malam bintangnya banyak banget). Salah satu tangkapan kamera teman, ada di bawah ini.
Beberapa hari setelah acara selesai, grup whatsapp kelompok saya waktu Hype ini masih aktif sahut-sahutan. Ngeshare foto, nanyain kabar, mengungkapkan rasa senang karena bisa sekelompok, sampai ada yang bikin video sendiri dari kumpulan video-video yang direkam di HP.
Alhasil, sempat agak susah move on.
**
Perkara move on ini memang susah kelar. Move on dari tempat kerja lama, move on dari mantan, dari gebetan, dari kawan baik, dan lain-lain.
Yang bikin susah dilupakan itu sebenarnya kenangan dan segala memori yang terjadi pada waktu itu, jam itu, menit itu, detik itu, bersama orang itu, di situ. Which is nggak mungkin juga bisa direkonstruksi. Kalaupun diniatin buat dikerjakan dengan orang yang sama, di tempat yang sama, di situasi yang sama, momennya juga nggak bisa 100% sama. Rasa yang didapat nggak bakal bisa sama persis untuk mengobati kekangenan dengan memori yang udah lewat.
Minggu lalu, salah satu kerabat di kampung halaman saya meninggal dunia. Banyak teman-teman saya yang merasa sangat kehilangan dengan kepergiannya yang mendadak, apalagi usianya masih sangat muda. Saya yakin yang paling bikin sedih tentu saja waktu mengingat memori dan momen bersama si teman dulu. Kepergian seseorang untuk selama-lamanya ‘menyadarkan’ kita bahwa nggak ada lagi peluang untuk bisa mengulang momen kebersamaan dulu.
Dan keterbatasan itulah yang bikin sedih.
Dengan tulisan ini, saya cuma mau bilang dan mengingatkan diri sendiri, bahwasanya, namanya momentum itu nggak akan bisa berulang. Apalagi ketika momentum melibatkan orang yang jarang bisa kita bisa temui. Kedua, selalu ada kehilangan lainnya yang mungkin akan terjadi setelah kehilangan pertama. Sedih? Sudah pasti. Mana mungkin nggak sedih. Karena lagi-lagi, momentum yang membawa pikiran dan jiwa kita sangat ingin berjuang untuk mengulang semuanya kembali (walau nggak akan bisa).
Karena itu, mengutip kata pepatah cliche yang mau nggak mau harus diterima : cherish your moment, seize your day.
Because that moment could be your last time, or probably your one and only time.
nyonyasepatu
Bener bgt, makanya kita mesti nikmatin semua moment yaaaa hhehe. Susah tapinya
raf
vivre sans temps mort, live without dead time. nice post you got here, on this blog! 🙂