Orang Tua Pasca Milenial
Beberapa waktu lalu saya membaca salah satu tulisan tentang “Jika saya menjadi mertua…”. Tulisan yang cukup menggelitik mengenai bagaimana penulis akan bersikap jika suatu saat anaknya menemukan pasangan, dan harus berhadapan dengan mertuanya. Saya melihat tulisan ini menjadi pengingat untuk penulis sekaligus yang memaparkan kebalikan dari hal-hal kurang menyenangkan yang banyak dilakukan oleh mertua pada umumnya.
Dan, pagi ini pikiran saya mampir pada topik bagaimana “Jika saya menjadi orang tua…”. Dengan jaman yang berkembang dengan kepalang cepat ini, jadi orang tua sepertinya tidak gampang. Iya, saya juga belum bersentuhan dengan rencana menjadi orang tua atau menantu-mertuaan dalam waktu dekat. Tapi, saya banyak berpikir dari kacamata sebagai seorang anak yang memiliki orang tua. Berkaca pada posisi saat inilah kira-kira tulisan ini dibuat.
Jadi, ini hanya tulisan tentang bagaimana saya akan bersikap jika kelak saya menjadi orang tua. Tujuannya, tidak kurang tidak lebih, supaya terjalin keterikatan dan komunikasi yang baik dengan anak-anak saya, kelak. Yang mungkin juga beda untuk versi orang lain.
Saya tahu, menjadi orang tua bukan perihal mudah. Banyak hal yang dipikirkan orang tua khususnya menyangkut kebahagiaan anak. Tapi yakinlah, menjadi anak juga bukan perihal mudah. Apalagi, mereka yang akan menjadi remaja atau dewasa dalam beberapa puluh tahun ke depan ketika jaman pastinya semakin rumit, semakin cepat, dan semakin tidak tertebak dari apa yang sudah terjadi saat ini, bagi kita si milenial, atau mereka, si jaman now. Mudah-mudahan intisari ini berguna…
Be Updated
Mengapa ini jadi yang pertama? Karena dari sinilah, gap antara apa yang diketahui si anak dan si orang tua bisa dijembatani. Mudah-mudahan, 10 tahun lagi semua akan tetap terupdate di sosial media atau portal berita. Dengan begitu, minimal orang tua punya akses untuk mengetahui apa yang terjadi di luar rumahnya. Kalau ndak ada yang update ke sini lagi, bingung juga kan kita nantinya harus kepo dari mana. Dari novel “Hujan” atau serial “Black Mirror” atau tontontan lainnya yang bercerita tentang teknologi jaman mendatang, konon layar LCD tak lagi digunakan karena sudah terganti dengan sistem hologram mulai dari layar, keyboard, hingga mouse. Yah, seberapapun canggihnya, intinya saya ingin jadi orang tua yang tetap update dengan berita terkini, gaya rambut terkini, gosip artis, atau bahasa gaul terkini. Jadi, kalau anak saya lagi ngomongin yang gaul-gaul, paling endak saya bisa paham. Dikit-dikit.
Mendengar
Urusan mendengar memang selalu menjadi kendala saat berkomunikasi di lini apapun; sekolah, pekerjaan, keluarga. Namun sayangnya, kita tetap dituntut untuk menjadi pendengar yang baik (dibanding pencerita yang baik). Kerumitan hidup yang akan terjadi di masa mendatang akan banyak mendatangkan kerisauan untuk anak-anak. Orang tua yang bisa mendengar akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak untuk menceritakan keluh kesahnya. Mungkin jaman mendatang, orang makin nyaman untuk bercerita tanpa tatap muka; via Skype versi terbaru misalnya? Yah tidak apa, yang penting fungsi mendengar tetap dijalankan dengan baik sebagai orang tua, apapun medianya.
Berteman
Secanggih-canggihnya teknologi, keberadaan manusia yang punya rasa, emosi, dan jiwa tetap akan mengisi kekosongan di jiwa seorang manusia. Saya rasa kebutuhan ini akan abadi dan terus ada dalam puluhan tahun ke depan. Saya selalu iri melihat bagaimana orang tua dan anak bisa berkomunikasi dan berinteraksi layaknya teman. Saya ingin menjadi seseorang yang bisa menerapkan hal serupa, suatu hari nanti.
Asking less
Ada orang yang cenderung senang bercerita, tanpa perlu ditanya (termasuk saya). Ketika orang banyak bertanya, saya malah segan bercerita. Ketika tidak ditanya, saya malah gatel pengen cerita. Menilik pada hal ini, saya pun ingin menjadi orang tua yang tidak terlalu banyak bertanya alias kepo. Kali-kali anak saya nanti seperti saya, jadi dia tidak kabur dan nyaman untuk bercerita. Kalau dia kayak saya loh yah. Kalau ternyata dia lebih demen ditanya, ya kita sesuaikan nanti. Haha.
Eh ini juga berlaku untuk ‘asking’ dalam urusan ‘meminta’. Percayalah, kebiasaan meminta bisa diinterpretasikan dengan kecenderungan ‘menuntut’. Unless ini adalah hubungan bos dan karyawan dengan timbal balik gaji dan tanggung jawab, kurang baik rasanya terlalu banyak menuntut, apalagi terhadap anak sendiri.
Be fair
Hidup itu susah. Tak heran, menemukan kondisi yang fair menjadi sesuatu yang sangat melegakan untuk urusan-urusan genting. Entah itu fairness di lingkungan kerja, sekolah, atau dimanapun, mereka yang bertindak adil akan lebih diharga. Untuk urusan keluaga, fairness saya terjemahkan untuk urusan reward and punishment. Berikan penghargaan untuk pencapaian yang dilakukan anak, dan berikan sanksi serta penjelasan atas apa yang kurang tepat. Orang tua tak selalu benar. Anak tak selalu salah. Kira-kira begitu.
Move on
Seringkali orang tua punya harapan yang diberikan pada anak. Nilai yang bagus, kerjaan bagus, jodoh bagus, kehidupan bagus, dan segala kebagusan lainnya. Sebagai seorang manusia normal, tentu saja apa yang bagus itu menjadi keinginan si anak juga. Hanya saja, ia mungkin mengejar ‘kebagusan’ itu dengan caranya masing-masing yang sudah di-customize sesuai dengan perkembangan di sekelilingnya. Kelak, saya ingin menjadi orang tua yang bisa menerima dengan legowo jika apa yang saya yakini bagus, pada prakteknya tidak dirasa bagus oleh si anak. Menuntut agar apa yang kita yakini benar bisa terjadi memang menyenangkan, tapi dituntut sangat tidak menyenangkan. Mengulang-ulang keinginan orang tua mungkin dipandang wajar, tapi melakukannya berulang-ulang sepertinya akan berdampak kurang baik di kemudian hari. Sepertinya teori ini akan terus ada tak peduli semaju apapun teknologi.
Berdoa
Doa di telapak kaki ibu. Iya saya percaya. Tak hanya ibu pastinya, ayah juga, dan semua kerabat keluarga juga, bahkan semua yang mendoakan kita. Banyak harapan yang diberikan pada anak, mulai dari A-Z. Seringkali harapan disampaikan lewat doa. Mungkin ada hal yang tidak bisa saya sampaikan secara verbal kepada si anak, karena itu, saya berdoa. Percayalah, ketika sudah menyampaikan doa, akan ada kekuatan yang membantu kita mewujudkannya. Kalau doanya benar, niscaya terkabul. Kalau belum terkabul, mungkin doanya kurang tepat. Atau ya, belum waktunya.
Sekali lagi, ini hanya tulisan pengingat yang dirangkum dari pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, tontonan, bacaan, yang didengar, dan sumber lainnya. Mudah-mudahan masih tersimpan di halaman WordPress saya pada 1 atau 2 dekade berikutnya untuk bisa dibaca lagi.
nyonyasepatu
Dibaca dulu nih baik2 hehehe
Ira
ditulis dan diingat-ingat kembali saat punya anak nanti ya Mbak Vinny
vinnydubidu
Mudah2an masih inget dan masih berlaku ya Ira hihi
Fiberti
Boleh juga harapannya. Salam
vinnydubidu
Pikiran iseng2 aja, Mbak. Salam juga 🙂