All Vinny  

Putusin, Putuskan

Entah ini gegara nonton 13 Reasons Why atau beberapa hal yang terjadi belakangan, jadi bikin mikir deh perihal mengambil keputusan. 

Bersyukurlah kamu kalau kamu adalah orang yang punya kuasa penuh untuk mengambil keputusan, tak peduli apa kata orang sekitar. Bisa aja kamu orangnya cuek, jadi apapun yang kamu mau, ya kamu lakukan saja. ATAU malah orang sekitar kamu yang cuek, jadi apapun yang kamu kerjakan ya biar menjadi urusan kamu. Bukan urusan mereka.

Mau tapi ‘sedikit’ nggak bisa. 

Meskipun kamu tinggal di lingkungan yang orang sekitarnya cuek bebek, secuek apapun mereka, tetap aja kan ya ada orang-orang atau pihak tertentu yang pasti akan punya andil atas keputusan kamu. Contoh: ayah, ibu, abang, kakak. Saya tutup saja itu sampai lingkaran keluarga inti. Kalau paman, tante, istrinya paman, dan berikut-berikutnya yang ngomong, mungkin kamu bisa tutup kuping. Tapi kalau yang bicara adalah ayah dan ibu, sedikit banyak, anak pasti perlu akan paling enggak harus menimbang-nimbang. Untuk urusan ini, ada kalanya hak mengambil keputusan sendiri, menjadi sedikit terbatas.

Mau tapi nggak bisa ‘sama sekali’. 

Ini biasanya terjadi pada orang yang dari kecil sudah terbiasa ‘diatur’ oleh orang sekeliling, khususnya keluarga. Bukannya nggak boleh diatur yah. Ada yang memang dari kecil sudah terbiasa aja. Jadi, begitu gede, tanpa sadar kita jadi kurang punya keberanian untuk mengambil keputusan sendiri. Atau malah keluarga kamu yang nggak terlalu ‘percaya’ untuk memberikan kamu kebebasan karena terbiasa ngambil keputusan untuk kamu

Bisa tapi nggak mau. 

Ini nyambung dengan sebelumnya. Orang sekitar mah sudah kasih kamu kebebasan atau kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Tapi kamu memilih untuk membiarkan keputusan diambil orang lain. Pertama-tama keputusan kecil, lama-lama semua keputusan menjadi keputusan orang lain, bukan kamu sendiri. Karena kamu secara sadar memilih untuk menyerahkannya pada orang lain.

Bisa dan mau.

Di sini, kamu punya kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, dan sadar bahwa itu adalah sesuatu yang bisa dan harus kamu manfaatkan dengan baik. Jadi, mayoritas dari apa yang kamu kerjakan sekarang, adalah menjadi keputusan kamu. Setelah sampai di episode 13 dari 13 Reasons Why, saya agak merasa Hannah masuk golongan ini. Terlepas dari drama di sekolah yang menimpa hidupnya, Hannah kelihatannya punya keluarga yang kayaknya tidak terlalu mengekang dan memberikannya ruang untuk menentukan pilihan. Lagi-lagi yah, meskipun kalau mengikuti cerita film, keputusannya ya nggak terlalu tepat juga, karena berdampak besar pada banyak orang.

Saya ndak bahas tentang keputusan Hannah yang salah, atau tentang mana jenis yang benar, atau tentang depresi. Ini refleksi kecil saja di hari Minggu ini setelah nonton tentang korelasi dari apa yang terjadi dengan kehidupan kita saat ini dengan keputusan ‘mengambil keputusan’.

Kalau bisa memutar waktu dan punya banyak waktu, saya ingin bisa mempengaruhi orang-orang sekitar saya untuk berani mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, dimulai dengan menyatakan kepada sekeliling bahwa : “Hey, ini hidup saya, sini saya coba atur dan saya yang ambil keputusannya”.

Tentu saja ada resiko besar untuk itu. Kalau mau mengambil keputusan sendiri, berarti kamu harus menyusun semuanya dengan baik, menimbang baik dan buruknya, merencanakannya secara matang, supaya ketika kamu mengambil keputusan, itu menjadi keputusan terbaik untuk dirimu dan tidak merugikan orang lain, siapapun itu, apalagi orang-orang yang peduli padamu. Dan jika terjadi sesuatu karenanya yang tidak baik, kamu pun sadar, “Hey itu keputusanku. Resikonya, saya yang tanggung“. (Ingat, resikonya bisa jelek banget, bisa bikin kamu sengsara banget, jadi, pikir baik-baik).

Kalau di kerjaan, tentu saja prinsip barusan tidak berlaku sebab hidupmu sebagai seorang profesional menjadi hak bos, client, dan aturan perusahaan kamu. Kalau nggak suka, yah…. 🙂

Leave a Reply

%d bloggers like this: