Duka Suka Start-up dan Atasannya
Kayaknya saya ini orangnya suka kerja. Iya, kerja dalam arti bekerja di kantor, punya bos, punya teman sesama pegawai, terima gaji, makan-makan, kerja biar gajian lagi. Karena kesenangan ini, saya bisa berkompromi dengan mudah terhadap bidang pekerjaan yang saya jalani.
Misal: jaman kerja di media, saya bisa menikmati naik motor membelah Jakarta kepanasan dan kehujanan, nongkrong di kantor polisi berjam-jam demi menunggu kabar ada maling tertangkap atau ada arahan meliput berita penangkapan gembong narkoba. Pekerjaan yang menurut banyak orang keluarga saya bahaya luar biasa, saya lakoni dengan bahagia. Walaupun belakangan baru saya sadari, di luar dari kenikmatan saya bekerja di media, pekerjaan itu sebenarnya cukup berbahaya dan membuat saya positif dekil dan butek pada masa itu. Apa yang saya kompromikan? Bahaya.
Kompromi terbesar saya alami pada pekerjaan terakhir saya. Mari kita mulai (cerita yang panjang ini…)
Kerja di Startup
Bekerja di perusahaan rintisan atau “startup” atau “start-up” sepertinya sedang jadi tren di kalangan anak muda, apalagi di kota besar seperti Jakarta. Pakaian casual dan gahul, masuk siang-pulang cepat, kantor cakep, ada tempat main plus kantin, temennya muda-muda, weekend mabu-mabuan. Jika ini mewakili tempat kerja kalian saat ini, sama. Ini situasi tempat kerja saya terakhir (terkecuali bagian masuk dan pulang). Seru!
Namun, di luar ena-enanya, kalau kamu punya teman yang bekerja di perusahaan berjenis ini, mungkin kamu akan mendengar juga sisi lain perusahaan pemula. Mulai dari betapa cepatnya pergerakan di sebuah startup, betapa bedanya budaya kerja di tempat ini (apalagi jika sebelumnya kamu sudah punya pengalaman bekerja di perusahaan konvensional atau “normal’), betapa tidak ada birokrasi ribet untuk berdiskusi atau meminta approval atasan, apalagi kalau atasan kamu adalah orang asing. Banyak hal-hal baru dan berbeda yang pekerja startup dapatkan selama bertempat di kantor ini. Kamu merasa sama? Iya, saya juga, di tempat saya terakhir.
Atasan sekaligus pemilik perusahaan tempat saya bekerja dulu adalah orang asing. Gaya kepemimpinannya beda dengan bos kebanyakan – paling tidak dengan bos di perusahaan saya sebelum-sebelumnya. Namun, saya akui, kepintaran akademiknya juga melampaui atasan di perusahaan saya sebelumnya. Ia punya cara memimpin perusahaan yang sangat berbeda dari cerita-cerita teman saya yang bekerja di tempat lain. Visi, misi, dan ambisinya tak terbendung. Menurut saya, karakternya ini yang membuat perusahaan itu bisa maju dengan cukup pesat di tengah persaingan di industri serupa.
Dua tahun bekerja di perusahaan ini meninggalkan banyak kesan untuk saya. Ilmu excel saya yang terbatas pada SUM, IF, dan COUNT, berkembang 2-3 lipat karena kewajiban mengolah dan menganalisa data yang perlu dikerjakan setiap hari. Kemampuan mengarahkan dan memimpin tim kecil juga saya banyak pelajari dari tempat ini karena dalam hitungan bulan saya mendapatkan tanggung jawab yang besar dan bertambah besar. Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk urusan bisnis juga sedikit banyak terasah berkat keharusan berkoordinasi dengan atasan maupun rekan kerja di negara lain setiap hari. Yang terakhir, referensi mengenai jenis emosi baru dan kemampuan mengendalikan emosi yang betul-betul sangat terasah.
Dulu, saya orang yang lemah, mudah terharu, mudah tersinggung, mudah menangis. Hati saya mungkin serapuh kerupuk putih yang kalo dibiarin di ruang terbuka dalam 6 jam, langsung ‘masuk angin’. Berbeda dengan atasan saya yang bersifat keras, cepat, dan keras. Haha. Saya tiba-tiba blank mendiskripsikan karakternya.
Keras secara harafiah, karena ia bisa berbicara dengan suara keras dan punya pendapat dan pemikiran yang keras. Cepat, karena ia punya tenggat waktu yang sangat pendek untuk setiap hal atau proyek yang ia ingin wujudkan. Kalau perusahaan normal memberikan waktu riset selama 1 bulan, mereka yang pengen cepat mewajibkan maksimal 2 minggu, nah atasan saya ini hanya memberi waktu 4 hari. Keras satu lagi adalah yang metafora. Kata-katanya keras, sekeras bisa membuat orang yang mendengarnya retak secara mata, hati, dan telinga.
Tanda-tanda
Saya masih ingat hari pertama masuk kerja. Saya diikutkan manajer saya dalam meeting yang membahas laporan mingguan dengan berbagai frase dan istilah yang tak saya pahami sama sekali. Atasan saya menganalisa laporan tersebut dalam hitungan menit. Cepat. Saya pun terpana dengan staf yang sedang memberikan laporan karena mampu menjawab pertanyaannya dengan cepat. Sampai kemudian, kata F ia lontarkan di sela-sela kalimatnya seraya tersenyum dan tertawa. “Biasa, bule,” pikir saya waktu itu.
1 bulan berjalan, 3 bulan berjalan, 9 bulan, berjalan, terjadi dengan ritme kerja yang serupa dan sifat atasan yang serupa. Keras, cepat, dan keras. Saya lihat dan amati bagaimana manajer saya menghadapi atasan saya ini. Sesekali saya kasihan pada manajer, tapi tidak bisa juga berbuat apa-apa. Sebagai pekerja yang taat, saya hanya mengupayakan pekerjaan saya berjalan dan selesai dengan baik.
Memasuki awal tahun kedua, saya diberikan tanggung jawab baru. Manajer saya pindah dari perusahaan ini. Oleh karena jumlah tim yang memang tidak banyak, saya pun secara tidak langsung didudukkan pada tanggung jawab manajer. Berita bagus pada masa itu, yang sekaligus menghantarkan saya ke posisi langsung di bawah atasan saya ini.
Bulan demi bulan berjalan. Di sela-sela ABCDEF yang terlontar setiap hari kepada saya, saya tetap berusaha untuk menyerap sebanyak-banyaknya ilmu dari atasan saya. Saya jadikan semuanya sebagai pacuan supaya saya terus maju bak kuda di medan pertandingan. Hasilnya, ada. Tanggung jawab semakin besar kemudian disodorkan lagi kepada saya. Tentu saja saya terima dengan senang hati. Tantangan, kesempatan, reward, untuk apa yang saya kerjakan selama ini. Termasuk pula kepindahan saya ke Bangkok pertengahan tahun lalu.
Selesai
Sampai pada satu titik, saya merasa cukup. Hati saya merasa cukup dengan kompromi. Pikiran saya pun sepakat untuk berhenti berkompromi. Persatuan keduanya membuat saya memutuskan untuk menghakhiri perjalanan saya dengan perusahaan ini, dengan lapang dada dan rasa lega.
Lapang dada untuk meninggalkan kemegahan dunia startup dengan kantor cantik, kantin penuh makanan, weekend penuh minuman, dan kawan berkeluh kesah (yang kemudian menjadi kawan baik).
Lapang dada juga untuk menanggalkan kekerenan berkomunikasi dalam bahasa asing setiap hari, wara-wiri memanfaatkan teknologi Google tanpa batas untuk koordinasi lintas kota dan lintas negara setiap hari, lapang dada juga untuk melepaskan posisi tinggi yang mungkin berpotensi mengantar saya ke tempat yang lebih tinggi dan lebih jauh lagi.
Setelahnya, saya alami rasa lega yang luar biasa bak memandangi laut lepas tanpa kapal yang sedang diam, pun burung yang terbang, kecuali angin yang berhembus dengan dingin dan pelan.
Lega karena bisa kembali pada kehidupan layaknya kelas pekerja pada umumnya yang bisa berangkat sesaat setelah matahari mulai panas, dan pulang bersama mereka yang terkena macet parah karena semua orang pulang. Lega karena bisa menikmati Jumat malam dengan bahagia karena Sabtu dan Minggu libur. Bukannya terbebani setiap setiap Sabtu dan Minggu karena teringat bahwa 2 hari ini akan segera tergantikan dengan 5 hari panjang dan begitu seterusnya. Lega karena lebih sering membuka Twitter dan Instagram daripada Email, bukan sebaliknya, khususnya di akhir pekan. Lega karena bisa mendengar dan berbicara dengan bahasa layak dan memanusiakan manusia.
Lega karena bisa kembali menjadi manusia dan individu yang dihargai. Bukan aset seseorang. Bukan investasi seseorang. Bukan alat seseorang.
Penutup
Singkat cerita, perjalanan saya dengan perusahaan yang saya sempat anggap “rumah” ini tidak berakhir bahagia seperti novel remaja. Banyak kejadian yang membuat hati kerupuk saya betul-betul masuk angin bahkan jamuran. Toples kompromi saya selama 2 tahun penuh rupanya terisi sangat penuh dan langsung mbludak di hari-hari terakhir saya di kantor itu.
Pasca berhenti, beberapa efek kurang baik terjadi pada diri saya untuk beberapa waktu. Saya menjadi sangat skeptis dengan orang asing. Saya skeptis dengan orang pintar. Saya skeptis dengan orang yang menunjukkan tindak-tanduk suka mengintimidasi. Bahkan, mendengar dan mengingat cerita selama 2 tahun bekerja pun bisa dengan mudah menyentil memori masa kerja.
Namun, saya sadar apa yang saya alami sebelumnya adalah pilihan, bukan paksaan. Pilihan yang tidak saya boleh sesali. Ilmu yang saya serap masih sangat bermanfaat untuk pekerjaan saya saat ini. Saya tidak menyesal pernah mengemban beragam tanggung jawab selama bekerja, termasuk bekerja dengan mantan atasan dan segala ke-tidakmasukakal-annya. Bahkan dengan toples yang sudah pecah itu pun, saya tidak menyesal. Paling tidak, 2 tahun saya belajar mengendalikan emosi, atas nama tanggung jawab. Hati kerupuk putih saya pun kayaknya udah jadi kerupuk udang yang nggak lagi loyo semudah itu..
Penutup beneran
Tulisan ini saya buat untuk menggenapkan keinginan saya untuk berlapang dada. Sekaligus berbagi cerita untuk kamu, yang saat ini bekerja di lingkungan kerja yang menurut kamu, menyimpan sesuatu yang mengganjal. Untuk cerita saya, tentunya dalam korelasi dengan atasan.
Kompromi dengan situasi pekerjaan yang pastinya tidak serba enak itu perlu. Saya percaya, kesetiaan dan waktu kamu bekerja di satu perusahaan menunjukkan kamu adalah tipe individu seperti apa. Apakah: setia, bosenan, atau sosok yang ready to die for (the company). Yang pertama dan terakhir tentunya yang paling diincar.
Tapi, jika ganjalan yang kamu alami adalah sesuatu yang betul-betul secara objektif sangat mengganggu (ceritakan kondisi kerjamu pada orang yang betul=betul bisa objektif memandang sebuah situasi), ada baiknya menimbang ulang kelanjutan kamu di tempat tersebut. Jangan sampai, pilihan kamu untuk bertahan malah menjadikan kamu sangat terbebani. Iya, itu cluenya. Kalau kamu sudah sangat terbebani tiap hari Minggu karena Senin bekerja lagi (bukan karena males bangun pagi ya), timbang ulang keputusan kamu untuk bertahan.
Saat ini, hati saya belum sepenuhnya beres dengan pengalaman tersebut. Tapi saya sedang mencari cara. Mulai dari bertemu kembali dengan kawan-kawan di perusahaan lama, mendengarkan cerita mereka, memberikan mereka semangat agar mengambil keputusan terbaik. Termasuk juga dengan menuliskannya. Mudah-mudahan yang terakhir ini berhasil.
Ingat, bekerja itu penting. Kompromi dalam pekerjaan juga penting. Tapi, keberadaan kamu sebagai manusia juga penting. Kalaulah bekerja membuat kita menjadi kurang manusia, apakah pilihan bijak untuk terus bertahan?
Testimoni
“Alhamdulilah. Bangun tidur nggak baca email aneh-aneh lagi. ~”
“Ga pernah tau kalo duduk lama di Dunkin stasiun bisa se-tenang itu. I’m happy!”
“Di kantor dulu makanannya pake prasmanan, dari cevbrulee, lasagna, salad ala fremante bregete, atau bahkan spaghetti ala dionetremeregesehe, tapi semangkuk opor ayam buatan ibuk tiada dua rasanya ya Rabbana”
“Akhirnya bisa hidup normal, bangun normal, olahraga normal.”
joeyaholic
ehehe~
Kesel Nggak Kelar-Kelar | Vinnydubidu's
[…] Apalagi kalau bukan seputar cerita saya sebelumnya tentang kantor lama. […]