Menyerah Pada Waktunya
Salut untuk semua pahlawan jaman dulu yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bayangkan betapa tiap hari mereka harus tidur dalam kekhawatiran kapan musuh datang, kapan meriam diluncurkan, kapan markas diledakkan, belum lagi diam-diam berdoa semoga keluarga di rumah baik-baik saja. Berkat mereka yang pantang menyerah, kita bisa merasakan hidup kali ini yang telah dimudahkan dan dicukupkan, bahkan mungkin berlebihan.
Saya ngomongin pahlawan karena kayaknya sosok mereka adalah yang paling mudah dijadikan contoh terkait bentuk perjuangan. Kuat, pantang menyerah, dan menang. Semua ada di sosok pahlawan. Sosok sempurna untuk saya jadikan acuan untuk menulis postingan ini.
*
Untuk kehidupan masa sekarang, saya punya beberapa orang yang saya anggap hidupnya penuh perjuangan, dan mereka berlaku hampir seperti pahlawan dengan ketiga hal di atas.
Mereka adalah Agnes Monica, Maudy Ayunda, dan Michelle Obama. Standard ya? Iya. Cuma mereka yang saat ini ceritanya ‘klik’ dengan saya.
Menurut saya, mau seberapa banyakpun haters-nya Agnes Monica, saya kok masih merasa dia keren ya. Saya ingat waktu di jaman kuliah saya dulu, Agnes marak muncul di televisi karena mulai mengumumkan mimpinya untuk masuk di permusikan internasional. Banyak yang “apa sih lo?” sama keinginannya Agnes.
Teman saya ada yang demen banget, ada yang nyinyir banget sama segala sesuatu berbau Agnes Monica. Coba aja kaliin 2 teman saya dengan jumlah warga Indonesia. Ambillah 1/100rb-nya. Segitu mungkin ya jumlah orang yang mendebatkan Agnes Monica tiap kali dia muncul di berita.
Tapi namanya Agnes, hajar terus deh. Yang ada, tagline-nya soal Dream, Believe, and Make it Happen untuk semua penggemar dan non penggemarnya kayaknya malah cukup nendang. Klise, tapi masuk akal. Hasil perjuangannya, saya rasa pencapaian dia beberapa tahun terakhir, sampai yang terakhir ini (yang saya juga nggak tau itu ajang apa), pasti sesuatu yang jadi pencapaian penting buat Agnes, yang bisa dicapai karena dia tidak berhenti berjuang.
Dua hari lalu, saya nonton wawancara Najwa dan Maudy Ayunda. Tentunya, topik utama terkait “Stanford VS Harvard”-nya Maudy. Saya mengikuti wawancara tersebut dengan asik. Maudy sosok yang sangat pintar. Dia terlihat jujur dan unik. Jujur dengan bagaimana sebenarnya profesinya sebagai seniman justru menjadi tantangan dia saat mendaftarkan diri di Stanford, yang harus bersaing dengan mereka-mereka yang sudah datang dari background bisnis dan ekonomi. Unik karena dia punya sudut pandang yang cukup ‘nggak biasa’ mengenai bagiamana artis bisa punya preferensi berbeda untuk profesi mereka. Ada yang merasa, mengasah kemampuan di bidang seni sudah cukup. Tapi, ada juga yang merasa butuh pendidikan untuk mengasah kemampuannya. Yang kedua menjadi pilihan Maudy. Makanya, dia terus sekolah.
Dia juga sempat berbagi tentang bagaimana cita-cita masuk ke Harvard dan Standford ternyata sudah ada sejak ia duduk di bangku SD (cukup ajaib mengingat saya mungkin baru dengar kata Harvard waktu duduk di bangku SMA, Stanford waktu kuliah). Dua tahun lalu, dia sudah memulai proses mendaftarkan diri di kedua universitas. Mulai dari mampir ke kampusnya untuk mendaftar, bikin essay selama 1 bulan penuh, sampai menunggu hasilnya, seperti kandidat-kandidat lainnya. Alhasil, ketika ia mendapatkan kabar baik, wajar banget dia senang dan membagikannya si sosial media. Ke mana lagi kita bercerita kalau bukan ke Instagram / Twitter atas semua perasaan kita saat ini? (Oh yah, dia jadinya ke Stanford, btw.)
Kalau Michelle Obama, sedikit banyak karena saya abis baca bukunya, Becoming. Berasa aja perjuangan dia dari kecil sampai bisa jadi seperti sekarang.
Di luar 3 artis di atas, saya juga suka ngamatin cerita teman-teman di Blog atau Twitter. Banyak cerita-cerita beberapa blog yang sedikit banyak bikin saya “sirik” dan lambat laun malah jadi panutan saya. Sebut saja Mba Yoyen, Mba Noni, Teppy, dan Jenny Jusuf.
Yang tiga pertama, saya udah ikutin ceritanya dari lama di blog masing-masing. Yang Teppy, beruntung bisa kenal langsung. Melihat pencapaian dia sekarang, saya pengen tepuk tangan rasanya untuk Teppy. Mba Yoyen dan Mba Noni, saya nggak tau spesifik perjuangannya dalam hidup. Tapi melihat cara mereka bertutur dan berbagi di blog-nya, sepertinya mereka kok banyak berjuang ya dalam hidup, dan itu bikin saya makin salut. Kalau Jenny Jusuf, saya baru ikutin blog-nya sebulan terakhir. Langsung deh saya terkagum-kagum karena merasa punya banyak kesamaan latar belakang keluarga dan bagaimana she could live on that.
Satu persamaan dari semuanya? Ya, mereka semua perempuan (tanpa disengaja).
Tiap kali liat dan baca cerita-cerita perempuan hebat di blog, saya mudah sirik. Sirik karena banyak dari mereka yang berani mereka lakukan dan perjuangkan untuk hidupnya masing-masing. Mungkin hal cetek, tapi saya kok berasa mereka hebat. Setelah sirik, saya juga jadi pengen. Pengenn rasanya bisa jadi kayak mereka. Bisa berani, bisa menjadi dirinya sendiri, dan menyampaikannya ke siapapun, bisa berjuang, bahkan menjadi inspirasi orang-orang.
Perihal berjuang memang nggak gampang. Berapa kali saya memilih mundur ketika harus berjuang. Mental ini rasanya terlalu rapuh untuk bertarung di medan perang. Takut dipukul, takut disenggol, takut luka, takut baret. Padahal, kalau nggak ada yang sakit-sakit, mana mungkin ada yang nikmat? Padahal, hidup kan cuma sekali. Masa’ nggak berani berjuang? Iya, tetap nggak berani.
Karena hal ini juga, saya mudah sedih dan emosional ketika melihat ada yang menyerah. Apalagi, kalau saya tahu itu hal yang sangat bisa diperjuangkan. Sayang, saya nggak punya keberanian juga untuk membangkitkan mereka. Sedikit banyak, saya merasa mungkin mereka menyerah karena hal yang sama dengan saya. Jadi, apa mau dikata?
Menyerah memang sebaiknya nggak dijadikan pilihan untuk apapun yang kita inginkan. Sebisa mungkin, sebaiknya satu-satunya pilihan adalah berjuang.
Tapi lagi-lagi. KIta manusia. Hidup sebagai bagian sosial dari sebuah entiti luas bernama masyarakat. Ada hal-hal yang agak nihil untuk diperjuangkan, meskipun ada dari mereka yang memilih jalah tersebut.
Kalaupun tiba waktunya untuk kamu atau saya untuk menyerah, saya berharap itu pun adalah jawaban terakhir setelah banyak jalan telah buntu. Pastikan ada teman dekat yang siap menyanggah punggungmu, memegang tanganmu, atau memelukmu, ketika kamu terjatuh.
Setelahnya, semoga kamu mendapatkan kekuatan dan didukung alam semesta, untuk mendapatkan keberanian berjuang, untuk pertarungan berikutnya.