
Perjodohan
Kita emang udah di tahun 2020. Tahun dimana kita udah bisa ngeliat update foto Planet Bumi yang baru dipotret NASA beberapa jam lalu, udah seliweran di Facebook sekarang . Masa’ sih masih ngomongin kisah Sitti Nurbaya yang ditulis tahun 1922, atau 98 tahun lalu. Hampir 100 tahun lalu bahkan.
Kenapa tetiba bahas ini?
Karena hal ini masih sering saya temui di sekeliling. Bukan di bacaan fiktif ya. Tapi, yang nyata. Di depan mata.
Saya nggak akan menyebut kata ‘korban’, karena kok kesannya malang bener. Kita sebut saja ‘yang dijodohkan’.
Yang dijodohkan ini tentunya biasa adalah sosok laki-laki atau perempuan, pada usia tertentu, yang dirasa masyarakat sudah cukup usianya untuk menikah tapi kok belum nikah-nikah. (perhatikan 3 kata yang ditebalkan).
Yang menjodohkan sudah pasti adalah keluarga atau kerabat terdekat dari yang dijodohkan. Kadar kedekatan dari yang menjodohkan pun macem-macem. Ada yang nggak deket, tapi kepo aja gitu. Ngomong terus pengen jodohin tapi nggak ada follow up-nya. Ada yang deket banget, dan memang kepo juga. Jadi betulan menjodohkan, dengan siapa aja yang ‘berpeluang’.
Tadinya, saya menentang praktek perjodohan dalam bentuk apapun. Menurut saya, kuno, melanggar hak asasi (serius), dan tidak berperikemanusiaan.
Tapi, makin ke sini, sebenernya perihal jodoh menjodohkan ini harusnya ditanggapi layaknya orang ngenalin kawan baru pas nggak sengaja ketemu di mol. Bedanya: yang dikenalin adalah yang diharapkan bisa menjadi jodoh seumur hidup, dipertemukannya bukan tanpa sengaja melainkan sangat disengaja, dan ketemunya sudah diatur juga sedemikian rupa agar bisa membuahkan hasil sesuai yang diharapkan salah satu atau kedua belah pihak.
10 tahun lalu, mungkin saya percaya jodoh di tangan Tuhan. Cuman setelah bertemu lebih banyak orang, menghadapi lika-liku kehidupan, baca lebih banyak buku, khususnya Modern Romance, prinsip saya semakin luntur.
Untuk yang pengen (karena nggak semuanya terbebani dengan urusan jodoh-jodohan), cari jodoh sekarang emang susah kalau nihil usaha.
Usaha di sini bisa macem-macem: Lebih mencintai diri sendiri (nggak mengutuk diri terus karena berpinggang lebar, berlengan besar, atau berambut keriting), lebih memperhatikan penampilan (lebih sering mandi dan keramas misalnya, supaya lebih harum), membuka pergaulan (nggak temenan sama yang itu-itu aja karena jodohmu mungkin di genk anu), menambah interest (sekaligus menambah asupan otak), termasuk tidak anti-anti amat dengan perjodohan.
Kenapa sih saya ngomongin ini?
Karena serial “Never Have I Ever” (spoiler alert).
Pandangan saya tentang perjodohan semakin meng-abu setelah nonton Never Have I Ever di Netflix.
Di episode 9, kalau nggak salah, ada cerita soal Kamala, sepupunya Devi, yang rencananya akan dijodohkan oleh keluarganya, dengan Prashant. Alasan menjodohkannya, klise. Kamala sudah cukup umur, Kamala orang India, dan orang India punya serangkaian peraturan budaya seputar jodoh yang wajib dituruti dan 99% akan mudah dipenuhi jika pasangan juga adalah orang India.
Saat dijodohkan, Kamala sebenernya sudah punya pacar bernama Steve. Steve ini orang Asia (entah Taiwan, Hongkong, atau yang mana). Yang jelas bukan orang India. Makanya, pas dijodohkan, dia sempat galau. Walaupun sebagai anak yang baik dia meng-oke-kan perjodohan itu, dari lubuk hatinya yang terdalam, Kamala menolak, dan tetap melanjutkan hubungannya dengan Steve.
Sampai tibalah Kamala di hari-H, untuk pertemuan perdananya dengan Prashant.
Begitu jumpa, Prashant ternyata punya wajah rupawan, pintar, dan nggak ‘India-India’ amat. Kamala yang juga nggak India-India amat karena udah lama kuliah di Amerika pun, langsung jatuh hati.
Gayung bersambut.
NAH, episode ini bikin saya ngangguk-ngangguk lagi soal perjodohan.
Memang akan mulus banget kalau yang dijodohkan adalah sosok seperti Prashant yang udahlah ganteng, lucu, pinter, serumpun pula. Cuman, terlepas dari penampilan, memang ide perjodohan ini mungkin harusnya nggak dipandang sebagai sesuatu yang amit-amit amat.
Sama halnya dengan orang yang dulu segan/malu ngaku ketemu akhirnya menikah karena pertemuan di Tinder (karena kok rasanya : cowok/cewek macam apa yang main Tinder? Berani amat dikawinin?), sekarang orang pun lebih terbuka. Di hari pernikahannya, ada yang ngepos screenshot pertamanya dengan si perempuan, yang kini menjadi istrinya, beberapa belas bulan sebelumnya, di laman Tinder. Postingan ini sempet rame di Twitter.
Harusnya, kalau ada yang sedang berjibaku dalam praktek perjodohan, bisa juga berpikir lebih terbuka seperti si mas-mas yang ngepos di Twitter itu.
Yang dijodohkan bukan berarti kalah (dari perjuangan mencari jodoh sendiri). Yang dijodohkan mungkin cuman perlu aja dikenalin kawan baru.
Yang menjodohkan juga nggak usah baper. Kalau sampe gagal ya jangan emosi, demo, atau minta ganti rugi. Namanya juga ngenalin.
Bener nggak?
nyonyasepatu
Hahaha makanya mak comblang tetep ada sampai sekarang yaaa
vinnydubidu
Memang ya jodoh itu misteri tak terpecahkan. Beruntunglah Mba Noni sudah bersama jodoh Mbaa 😂
Ira
akhirnya akupun nonton never I have ever!!
aku setuju dengan pandanganmu Vinny, apalagi kallo dipikir-pikir yang emnjodohkan pun sebenernya pengen yang terbaik buat yang dijodohinnya, cuma ya kadang ada yanng akhirnya jadi ada yang engga.
vinnydubidu
Haha. Iya, memang rumit ya perihal jodoh-jodohan ini. Seandainya bisa semudah di film-film. :))).