All Vinny  

Realis dan Idealis

“Kenapa pindah ke Banjarmasin? Itu pilihan realis atau idealis?”

Di tengah kebingungan saya dengan istilah grafik polusi udara, peningkatan emisi gas, dan aneka artikel dari berhalaman-halaman tab yang muncul di layar laptop, ponakan saya tiba-tiba menanyakan hal di atas.

Saya diam, lalu ketawa. “Kok tiba-tiba nanya gitu?”

“Itu, abis ngeliat polling di IG stories”.

Oh,” kata saya.

Referensi pertanyaan sunggu dalam, yang ternyata dia dapat dari 15 detik postingan Instagram saja. Dasar generasi telur omega 3. Bisa aja sih kalo nanya!

*

Pindah ke Banjarmasin, atau kembali ke rumah, bukan yang pertama saya lakukan. 8 tahun lalu, saya juga kembali ke rumah. Tapi waktu itu, ke Pontianak.

8 tahun lalu, keputusan saya pindah bukan karena pertimbangan realistis atau idealis, melainkan lebih kepada putus asa. Ha!

Sebelum berhenti dari media, saya sempat mencoba peruntungan dengan melamar di posisi PR untuk beberapa kantor di Jakarta. Di masa itu, saya juga sedang panas-panasnya ingin mendapatkan beasiswa S2. Apa daya, nggak ada yang berhasil. “Rumah” menjadi safety net saya. Jadi, saya pulang. Putus asa kan tu namanya ya? :).

2 tahun setelahnya, saya kembali berkelana, sampai 2 tahun lalu. Saya kembali ke rumah kedua. Kali ini, di Banjarmasin. Tak disangka, beberapa tahun kehidupan cukup membuat saya sedikit lebih matang dan bijak dalam memutuskan. Di kali kedua ini, saya pulang sebagai jawaban dari pemikiran panjang yang realistis.

Sedikit mundur, setelah menyelesaikan tanggung jawab di pekerjaan sebelumnya, saya memutuskan untuk kembali ke rumah, untuk bekerja. Betul, saya pulang untuk kerja. Bukan karena kangen rumah dan segala kenyamanannya. Atau, putus asa.

Sebelum mengambil pekerjaan ini, saya sudah melihat potensi pekerjaan dan tantangan baru yang akan saya hadapi, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Atas pertimbangan itu, saya mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Kebetulan saja posisi pekerjaan ini ada di tengah keluarga saya. Tapi, saya sangat merasakan perbedaan atas keputusan kali kedua ini. Dan, keputusan ini sungguh realistis; bekerja di tempat yang lebih baik, dengan tantangan dan bidang baru, dengan kompensasi yang lebih baik. Kenapa tidak?

Lalu, apakah menjadi realis dan idealis tidak bisa dilakukan bersamaan? Menurut saya, bisa banget. Di pekerjaan saya sekarang, saya tetap mencoba melakukan hal-hal idealis, walaupun tak mudah.

Untuk kamu yang bekerja dekat dengan lingkungan keluarga, garis hak dan tanggung jawab ada di area abu-abu. Boleh pulang cepat, boleh ijin banyak-banyak, boleh datang telat, boleh makan siang di ruangan atasan, dan sebagainya; menjadi privillege yang tidak dimiliki staf lainnya. Beberapa hal ini menjadi ‘konsekuensi’ karena situasi-tak-terlihat-tapi-ada, di lingkungan profesional ini. Mau ditegur, silakan. Nggak ditegur, juga nggak papa. Kan keluarga. Abu-abu!

Tapi, kembali ke awal perjalanan saya ke titik ini, saya selalu membuat ruang untuk melaksanakan idealisme saya saat bekerja, yakni profesional sebagai seorang karyawan / pekerja. Tanggung jawab pegawai lain juga menjadi tanggung jawab saya. Demikian juga hak.

Kemudian, privillege yang saya punya, saya gunakan untuk melaksanakan hal baru untuk kepentingan perusahaan, yang sebelumnya belum sempat dijalankan (karena keterbatasan referensi dan SDM). Keuntungannya, saya bisa menyampaikan usulan dan argumen saya ke ‘atasan’ dengan lebih mudah. Apakah selalu diterima? Tentu tidak, karena tidak cocok dengan budaya perusahaan. Apakah sering diterima? Iya, karena banyak juga yang cocok.

Syukurnya, semua berjalan baik. Saya merasa kebutuhan jiwa saya untuk menjadi idealis, dan raga saya untuk bekerja, cukup terpenuhi. Dan, ada perbaikan berarti di lingkungan profesional.

*

“Iya sih, aku pulang karena pilihan realis. Tapi aku tetap bisa jadi idealis kok sambil kerja di sini”.

Akhirnya, jawaban itu yang saya berikan untuk ponakan saya yang bulan depan genap berusia 15 tahun (astaga baru segitu!).

Setelah jawaban itu, kami kembali melanjutkan kegiatan kami untuk menyelesaikan tugas sekolah ponakan untuk membuat makalah.

Itu dia contoh lain atas hal realis + idealis yang saya lakukan di sini. Membagikan sedikit pengetahuan kepada ponakan (anak bos), sebagai bagian dari profesionalisme menjadi tante + pegawai.

*

Kamu sendiri, pernah ada di batas menjadi realis dan idealis?

4 thoughts on “Realis dan Idealis

  1. Phebie | Life Essentially

    Saya idealis yg suka berdansa dengan realis..kadang yg satu kekiri yg lain menyesuaikan 😅

    1. vinnydubidu

      Seru juga ya kalau bisa diajak dansa. Biar nggak usah berantem satu sama lain. 🙂

  2. Pondrafee

    Dari yang semula nyari review buku “Sejarah Tuhan” oleh Karen Amstrong, malah tiba-tiba sampai ke blog ini. Tapi merasa beruntung karena tulisan-tulisannya enak dibaca. 🙂

    1. vinnydubidu

      Hai, terima kasih ya sudah mampir, walaupun separuh kesasar 🙂

Leave A Comment