Indonesia Vinny  

Jerawatan

Microneeding Dermaroller

Disclaimer: Cerita yang panjang banget karena rangkuman perjalanan hidup 20an tahun bersama…

Jerawat.

Kata yang sempat bikin parno untuk saya. Puncak-puncaknya, peralihan SMP ke SMA.

Waktu SD, saya sekolah siang. Jadi, pagi sampai menjelang siang, saya habiskan di rumah menonton televisi, makan, nonton. Setelah itu, bersekolah hingga sore. Waktu SD, saya malas mandi. Pulang sekolah, biasa saya leyeh-leyeh sampai langit udah gelap. Kalau Ibu atau Ayah tidak teriak-teriak, saya nggak bakalan mandi.

Dasar kebiasaannya emang udah salah, saya mulai jerawatan. Malas mandi (yang berakibat kotor), sebenarnya cukup masalah. Saya tinggal di Pontianak, kota yang dilintasi garis Khatulistiwa. Hampir semua kota di Indonesia memang panas, tapi, panasnya Pontianak, aduhai bener. Belum lagi, saya ke sekolah dengan sepeda motor. Kadang naik becak dengan sepupu saya. Sesekali, naik oplet atau angkot yang namanya beda-beda di tiap daerah.

Ini awal kulit saya mulai jerawatan. Kebiasaan ini tidak berubah banyak waktu saya menginjak SMP, hingga SMA. Keharusan mandi mungkin sudah lebih bisa dinikmati. Tapi, sesekali saya masih menikmati nggak mandi sepulang sekolah. Tetapi, ingat, di masa ini, pubertas mulai menyerang. Masa kejayaan jerawat pun tiba! Jerawat saya semakin menari di kedua fase ini. Saya nggak pernah ingat punya ‘jerawat dikit’. Begitu sadar, wajah saya udah penuh jerawat. Dari kelas yang baru nongol, hingga yang jadi bekas.

Gimana rasanya jerawatan di usia ini?

Pasti kamu tau jawabannya. Susah. Berat. Sedih.

Apalagi di usia-usia begini. Masa dimana mulai nonton sinetron cinta-cintaan, dan film AADC berkumandang, membuat fantasi berwajah cantik, mulus, punya pacar ganteng pun mulai merekah. Bayangan ini rasanya cukup jelas, sampai saya berkaca. Jerawat! Nggak akan mungkin saya punya cerita Cinta dan Rangga. Begitu pikiran yang menguasai saya waktu itu.

TAPI, hari-hari saya nggak 100% berkutat dengan kegalauan akan jerawat. Dari SD, saya aktif di komunitas keagamaan. SMP dan SMA adalah puncak keaktifan saya. Di komunitas, kepercayaan diri saya perlahan dipupuk. Saya jadi tahu, kayaknya saya lumayan bisa ngomong di depan umum. Saya jadi sadar, kayaknya kalau di sekolah, saya lumayan disenangi karena saya rajin ngerjain tugas, nggak pelit, supel, gampang temenan ke sana kemari. Sampai, saya jadi penyiar radio di kelas 3 SMP. Posisi yang membuat saya semakin ‘dikenal’ di sekolahan, hingga saya SMA.

Saya mulai sering lupa kalau saya jerawatan.

Sampai, saya ketemu orang yang bertemu saya dan berujar, “Vinny, kok jerawatmu makin banyak? Udah ke dokter ini? Udah cobain ini?”

Eh, saya jadi inget lagi, situasi muka saya yang kata peribahasa (jadul) seperti bulan. Ya emang iya. Grundul sana sini. Padahal ya, yang ngomong itu, kalau jadi bayangan saya, mungkin akan mingkem. Usaha saya untuk mengurangi jerawat tentu ada. Mulai dari pakai sabun warna hitam, pakai obat racikan dokter umum yang katanya ampuh untuk jerawat, cairan berbau sulfur yang kuat, dan macem-macem. Apakah berhasil? Tentu saja enggak. Kalau berhasil, orang tadi nggak bakal ngomong begitu dong ya. Haha.

Plus, waktu itu, pergi ke dokter kulit bukanlah sebuah kebutuhan Mau primer yang mampu dipenuhi keluarga saya. Jadi ya, berbekal obat-obat murah aja, untuk mengusir si jerawat, yang tak kunjung terusir.

Memasuki kuliah,

Jerawat itu tentu masih ada. Namun, imunitas saya terhadap komentar pertama orang-orang tentang muka saya kayaknya makin besar. Karena semakin menemukan banyak kelebihan diri, omongan orang pun mulai bisa saya acuhkan. Bahasa anak sekarang, nggak terlalu baper lagi.

Lagi-lagi, nilai saya bagus, saya supel. Di komunitas, saya tetap aktif dan makin sering bikin ini itu, termasuk tampil di depan umum, menjadi MC atau moderator acara di komunitas.

Saya pun mulai berkenalan dengan make up. Eh, tapi saya selalu yang di-makeup-in. Ini terjadi kalau saya tampil di acara komunitas. Saya nggak bisa make up waktu itu. Make up pertama yang saya pakai adalah eyeliner, yang mulai saya kuasai, mungkin di tahun kedua kuliah.

Lulus kuliah,

Jerawat itu masih ada! Setia banget kan? Haha. Tapi, di masa ini, kepercayaan diri saya makin nambah lagi. Soalnya, saya punya kerjaan yang cukup membanggakan dan menyenangkan. Jadi wartawan di media yang lumayan besar.

Perhatian orang atas muka saya, teralihkan ke apa yang saya lakukan.

Plus, di masa itu, pergi ke dokter kulit, udah mulai jadi kebutuhan yang mampu dipenuhi oleh keluarga saya. Jadi, saya mulai mencoba dokter sana sini.

Sampai akhirnya,

Tahun 2016, kesabaran saya dengan jerawat, terbayarkan. Dokter yang saya sebut ‘Tuhan’ ini (karena perlu saya samperin tempat prakteknya dari sebelum matahari terbit, jam 5 subuh, demi dapat nomor antrian karena saking ramenya), memberikan saya obat yang berkontribusi besar untuk menenangkan hormon jerawat saya.

Setelah pemakaian 6 bulan, wajah saya semakin tenang. Setelah 1 tahun, semakin baik. Pokoknya, itulah awal dari perbaikan kulit wajah saya, hingga sekarang ini.

Ngapain saya cerita ini?

Dalam banyak kesempatan di keluarga, tiap kali membahas jerawat, sering terlontar dari anggota keluarga bahwa, “Memang kita punya gen jerawat sih. Coba lihat kakak, paman, mama, semua jerawatan. Makanya nurun ke kita”.

Saya sempat menanyakan ini juga ke setiap dokter yang saya temui. Memang mereka mengiyakan, jerawat bisa menurun secara genetika.

TETAPI, saya juga percaya bahwa kemalasan yang saya pelihara dari jaman SD itu juga berpengaruh besar pada kulit wajah saya. Ditambah, saya nggak pernah ngerti yang namanya perawatan. Orang lain mungkin bisa nutupin mukanya sana sini dengan bedak, concelear, dan lain-lain. Saya mah nggak paham. Waktu itu. Plus, saya pun nggak pernah mencari tahu tentang : apa yang harus saya lakukan untuk meredam hormon ini.

Berbeda dengan jaman sekarang. Informasi soal jerawat ini guampang banget dilihat di mana-mana. Ngecek HP aja, bisa langsung ditawarin produk membasmi atau menghilangkan bekas jerawat. Tinggal melek dikit, kita sebenernya udah memiliki aneka pilihan yang bisa dicoba. Tinggal riset dan banyak nanya aja, biar ketemu yang tepat.

Terus?

Dulu, saya nggak pernah pede, bahkan langsung sakit perut, tiap kali topik jerawat dibahas di momen tempat saya berada. Karena saya tahu, dalam hitungan menit, orang-orang akan noleh ke saya, lalu ngomongin jerawat saya. Sekarang, karena kulit wajah saya sudah jauh membaik, saya jadi pengen berbagi aja soal perasaan seorang pemilik wajah berjerawat.

Sebenernya saya bikin postingan ini untuk 2 pihak.

Untuk yang bertemu dengan orang yang jerawatan,

Mau jerawat dikit, atau banyak, coba komentarnya ditelan dulu sebelum dilontarkan. Saya perlu waktu hampir 10 tahun, untuk bertemu dengan solusi terbaik atas masalah kulit saya. Apakah saya menikmati 10 tahun itu. Tentu tidak. Dari kebanyakan orang, mungkin saya sedikit beruntung karena berada di komunitas yang mengalihkan perhatian saya pada kekurangan, dan sebaliknya lebih menggali potensi diri. Tapi, nggak semua orang ada di lingkungan seperti saya.

Daripada ngomentarin jerawat, mending tanya aja : Apa kabar? Semoga sehat yaa. Udah, berhenti di sana aja.

Berilah komentar, kalau kedekatan kamu dengan pemilik jerawat di tahap, kamu bisa ngobrol dia jam 12 malam, dan langsung dia akan balas dengan senang hati (kalau belum tidur). Kalau kamu dekat banget. Kalau belum segitunya, menurut saya, lebih baik nggak perlu ngenalin dokter hebat, nawarin obat mujarab, atau share akun IG testimoni pemilik jerawat.

Mungkin waktu diomongin begitu, kami senyum-senyum aja. Tapi, ada yang nyelekit di hati dan perut juga waktu menerima informasi itu. Sebab, pasti kamu adalah orang yang ke-10 atau lebih, yang menyampaikan hal serupa, untuk masalah yang nggak memang belum bisa diatasi dengan solusi kamu.

Singkatnya, diem aja. Nggak usah komentar.

Untuk yang jerawatan,

HAI, semoga kamu sehat!

Muka saya juga belum semulus artis Korea. Bekasnya juga masih ada, keliatan banget malah, atau yang dibilang bopeng. Oleh dokter, bekas ini nggak akan bisa hilang 100%. Operasi plastik? Nggaklah. Tapi, memang jerawatnya jauh lebih mereda dibanding 5 tahun lalu. Bekasnya pun jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu, setelah dilakukan beberapa kali tindakan seperti ‘mengamplas’ wajah (yang sakit sekali dan berdarah-darah tapi harus ditahan, dengan benda persis seperti foto postingan Ini).

Intinya, ada perbaikan yang cukup lumayan.

Menjadi pemilik wajah dengan kulit jerawatan memang bukan hal mudah. Jerawat sebiji aja, orang-orang udah panik nggak karuan. Gimana kalau banyak, lalu begitu ilang, meninggalkan bekas?

Tapi, dari pengalaman dulu, saya percaya kebersihan memang paling penting. Mandi itu penting. Cuci muka yang bersih itu penting. Pakai pembersih muka setelah beraktivitas (khususnya di luar) seharian, sangat penting. Kayaknya nggak ada ruginya deh, rajin bersihin muka. Jadi, selalu jaga kebersihan, khususnya kulit wajah.

Kemudian, jangan membenci diri kamu atau orang lain atas jerawatmu. Walau dibilang genetik, saya nggak pernah nyalahin kakek saya yang jerawatan. Banyak kan artikel yang bilang, kalau jerawat ini dipengaruhi juga oleh emosi atau stress karena memacu hormon tertentu penyebab jerawat. Saya sih percaya. Walaupun udah bersih, tapi kalau emosi dan stress gara-gara si jerawat, usaha menjaga kebersihan bisa sia-sia. Karena perasaan dan hati kita kok kayaknya masih ‘kotor’. Jadi, coba berdamai dan jangan menyalahkan siapa-siapa.

Lalu, cari cara untuk menghilangkan atau mengurangi jerawat. Untuk yang baru puber, usia 12-13an, mungkin usaha ini agak susah. Katanya, jerawatan di masa puber itu wajar. Dan akan berlalu. Saya juga melihat banyak bukti sih. Yang SD SMP SMA-nya jerawatan, setelahnya itu, udah mulus pleng pleng banget. Di sini, kesabaran jadi kunci untuk yang jerawatan karena puber.

Tapi, nggak ada salahnya, kita browsing sana sini, tanya sana sini, ke dokter juga boleh kalau memang bisa, supaya dapat penjelasan dan perawatan yang lebih tepat. Jangan tergoda dengan iklan penghilang jerawat instan di Instagram. Hilangin jerawat itu seperti nurunin berat badan. Cepat kurus, cepat gemuk. Cepat hilang (menurut saya nggak mungkin), pasti cepat muncul, atau bahkan dengan reaksi yang lebih ekstrim. Jadi, pakai cara yang tepat. Praktek merawat kulit (skincare) pun penting! Ini juga baru saya mulai 1 tahun terakhir ini. Sebelumnya, nggak paham banget deh saya pentingnya pakai sunscreen.

Terakhir dan terpenting, love yourself. Cintai diri kamu. Klise banget ini. Memang. Tapi, dari semua pertahanan dengan jerawat, poin ini menurut saya yang paling penting. Emang susah banget mencintai diri sendiri kalau mukanya penuh jerawat. Tapi, berawal dari menerima dan mencintai diri, saya jadi mulai rajin mandi, pakai pembersih muka, rajin nanya orang, mau menabung untuk ketemu dokter, dan beli produk skincare. Coba kalau dibalik, kalau saya tetap mengutuk dan membenci diri karena jerawatan, saya nggak akan melakukan tu hal-hal yang saya sebutin tadi. Sebab, otak saya pun udah malas memikirkan yang lain selain membenci si jerawat.

Ajaibnya, waktu kita bisa mencintai diri sendiri, kita akan bisa melihat kelebihan lain di diri kita yang bisa kita kembangkan, bikin happy, kadang malah berguna untuk orang lain. Dan, siapa sangka, akan ketemu juga tuh orang yang mirip-mirip Rangga, walaupun nggak berwujud seperti Nicholas Saputra. Ha!

Oh yah!

Saya juga baru tau dan cukup lega ada figur ‘bergelar’ acne fighter, Novia Nur Ismi. Dari sekilas yang saya baca, Novia juga punya masalah kulit berjerawat. Dan dengan platform Instagramnya, dia banyak berbagi soal pengalaman juga opsi yang bisa dipilh untuk yang jerawatan. Lega juga melihat ada sosok yang bisa dilihat netijen khususnya yang muda dan berjerawat, yang semoga membawa pesan baik untuk yang kulit wajahnya sedang bermasalah.

Jadi,

Semangat untuk semuanya! Baik yang berjerawat satu atau banyak. Semoga tulisan panjang ini bisa berguna.

Love and hug!

Leave a Reply

%d bloggers like this: